Senin, 09 November 2015

TUGAS 2 - JURNAL ETIKA PROFESI AKUNTANSI




Review Jurnal : “PENGARUH ETIKA PROFESI, KECERDASAN INTELEKTUAL,
KECERDASAN EMOSIONAL, DAN KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP OPINI AUDITOR (Studi Empiris Pada Kantor Akuntan Publik Wilayah Bali)”

Pengarang       : Ni Luh Gede Sukmawati, Nyoman Trisna Herawati, Ni Kadek Sinarwati

Penerbit           : e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi
Program S1 (Vol:2 No:1 Tahun 2014)

 
PENDAHULUAN
Dalam era globalisasi ini, semakin berkembangnya dunia bisnis dengan prakteknya yang sering sekali menyimpang jauh dari aktivitas moral. Padahal pertimbangan etika sangatlah penting bagi status profesional dalam menjalankan aktivitasnya. Salah satu profesi yang ada di dalam lingkungan bisnis yang eksistensinya dari waktu ke waktu semakin diakui oleh masyarakat bisnis itu sendiri adalah profesi auditor.
Mengingat peranan auditor sangatlah dibutuhkan oleh kalangan dunia usaha, maka mendorong para auditor untuk memahami pelaksanaan etika yang berlaku dalam menjalankan profesinya. Etika profesi merupakan faktor organisasional yang akan mempengaruhi kinerja seorang auditor. Ada beberapa elemen penting yang harus dimiliki oleh auditor, yaitu: (1) keahlian dan pemahaman tentang standar akuntansi atau standar penyusunan laporan keuangan, (2) standar pemeriksaan/auditing, (3) etika profesi, (4) pemahaman terhadap lingkungan bisnis yang diaudit. Sehingga syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang auditor adalah wajib memegang teguh aturan etika profesi yang berlaku. Maka dari itu, etika profesi merupakan sarana pengaturan diri yang sangat menentukan bagi pelaksanaan profesi sebagaimana diharapkan oleh masyarakat
Seorang auditor selain wajib memegang teguh aturan etika profesi yang berlaku, di dalam bekerja hingga menentukan opini audit seorang auditor juga dituntut untuk menggunakan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, tidak hanya intelektual saja. Seorang auditor dalam membuat keputusan pasti menggunakan lebih dari satu pertimbangan rasional, yang didasarkan atas pelaksanaan etika yang berlaku dalam memberikan opini audit.
Apabila di dalam melakukan pemeriksaan/audit baik auditor junior maupun auditor senior hanya mematuhi etika profesinya saja, tanpa kecerdasan intelektualnya auditor tidak dapat melakukan prosedur audit yang benar karena tidak mampu memahami dan mengaplikasikan pengetahuan dan pengalamannya baik dalam bidang akuntansi maupun disiplin ilmu lain yang relevan. Dengan demikian kecerdasan intelektual akan memengaruhi kemampuan auditor untuk melakukan pemeriksaan/audit dengan baik, tepat dan efektif.
Penelitian ini di titik beratkan pada profesi auditor independen yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik (KAP) di wilayah Bali, karena aktivitas profesi auditor tidak terlepas dari aktivitas bisnis yang menuntut mereka untuk bekerja secara profesional sehingga selain harus memahami dan menerapkan etika profesi, mereka juga harus memahami dan menerapkan etika dalam bisnis. Selain memahami etika profesi, seorang auditor dalam memberikan sebuah opini juga harus memahami kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual, karena dengan mempunyai ketiga kecerdasan tersebut seorang auditor diharapkan dapat berbuat tegas dalam memberikan opini yang tepat mengenai laporan keuangan kliennya walaupun dalam keadaan tertekan. 

METODE PENELITIAN
Rumusan Masalah
Pada penelitian ini terdapat tiga rumusan masalah yaitu:
1.    apakah etika profesi berpengaruh terhadap opini auditor ?
2.    apakah kecerdasan intelektual berpengaruh terhadap opini auditor ?
3.    apakah kecerdasan emosional berpengaruh terhadap opini auditor ?
4.    apakah kecerdasan spiritual berpengaruh terhadap opini auditor ?
5.    apakah etika profesi, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual secara simultan berpengaruh terhadap opini auditor ?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris Pengaruh etika profesi, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual terhadap opini auditor.

Data dan Variabel
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer.

Pada penelitian ini terdapat Variabel yaitu:
1.    Variabel bebas (dependent variables) adalah etika profesi, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual.
2.    variabel terikat (independent variable) adalah opini auditor.

Alat Analisis
Analisis data yang digunakan adalah uji kualitas data yang terdiri dari uji validitas dan reliabilitas. Uji asumsi klasik yang terdiri dari uji normalitas, uji multikolinearitas dan uji heteroskedastisitas. Uji hipotesis menggunakan uji regresi linear berganda, uji koefesien determinasi (R2), uji simultan (uji F), dan Uji hipotesi (uji t).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan tabel 1 dapat disusun persamaan regresi sebagai berikut:
Y = a + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + ε ...(1)
Y= -2,886+ 0,070 X1 + 0,230 X2 + 0,117 X3 + 1,146 X4 + ε
Dimana :Y= opini auditor, a = Bilangan kostanta sebesar -2,886, β1 = etika profesi sebesar 0,070, β2 = kecerdasan intelektual sebesar 0,230, β3 = kecerdasan emosional sebesar 0,117, β4 = kecerdasan spiritual sebesar 1,1,46 ε = Error.
Nilai konstanta sebesar -2,886 menyatakan bahwa apabila variabel etika profesi (X1), kecerdasan intelektual (X2), kecerdasan emosional (X3), dan kecerdasan spiritual (X4) sama dengan nol, maka opini auditor menurun sebesar 2,886 satuan. Nilai koefisien β1 = 0,070 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif antara variabel etika profesi (X1) terhadap variabel opini


auditor (Y) sebesar 0,070. Hal ini berarti apabila variabel independensi (X1) naik sebesar 1 satuan dengan asumsi bahwa variabel bebas lainnya konstan, maka variabel opini auditor (Y) akan mengalami peningkatan sebesar 0,070 satuan. Nilai koefisien β2 = 0,230 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif antara variabel kecerdasan intelektual (X2) terhadap variabel opini auditor (Y) sebesar 0,230. Hal ini berarti apabila variabel kecerdasan intelektual (X2) naik sebesar 1 satuan dengan asumsi bahwa variabel bebas lainnya konstan, maka variabel opini auditor (Y) akan mengalami peningkatan sebesar 0,230 satuan. Nilai koefisien β3 = 0,117 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif antara variabel kecerdasan emosional (X3) terhadap variabel opini auditor (Y) sebesar 0,117. Hal ini berarti apabila variabel kecerdasan emosional (X3) naik sebesar 1 satuan dengan asumsi bahwa variabel bebas lainnya konstan, maka variabel opini auditor (Y) akan mengalami peningkatan sebesar 0,117 satuan. Nilai koefisien β4 = 1,146 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif antara variabel kecerdasan spiritual (X4) terhadap variabel opini auditor (Y) sebesar 1,146. Hal ini berarti apabila variabel kecerdasan spiritual (X4) naik sebesar 1 satuan dengan asumsi bahwa variabel bebas lainnya konstan, maka variabel opini auditor (Y) akan mengalami peningkatan sebesar 1,146 satuan.
Hasil perhitungan koefisien determinasi, didapatkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,903. Hal ini mengandung pengertian bahwa 90,3 persen variasi opini auditor dipengaruhi oleh variasi etika profesi, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual, sedangkan sisanya 9,7 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil uji t terhadap variabel etika profesi (X1) menunjukkan tingkat signifikansi t untuk uji dua sisi sebesar 0,034 maka tingkat signifikansi t untuk uji satu sisi menjadi 0,017 yang lebih kecil dari 0,05 sehingga H1 diterima. Hal ini berarti bahwa etika profesi berpengaruh positif dan signifikan terhadap opini auditor.
Hasil uji t terhadap variabel kecerdasan intelektual (X2) tingkat signifikansi t untuk uji dua sisi sebesar 0,024 maka tingkat signifikansi t untuk uji satu sisi menjadi 0,012 yang lebih kecil dari 0,05 sehingga H2 diterima. Hal ini berarti bahwa kecerdasan intelektual berpengaruh positif dan signifikan terhadap opini auditor.
Hasil uji t terhadap variabel kecerdasan emosional (X3) menunjukkan tingkat signifikansi t untuk uji dua sisi sebesar 0,017 maka tingkat signifikansi t untuk uji satu sisi menjadi 0,0085 yang lebih kecil dari 0,05 sehingga H3 diterima. Hal ini berarti bahwa kecerdasan emosional berpengaruh positif dan signifikan terhadap opini auditor.
Hasil uji t terhadap variabel kecerdasan spiritual (X4) menunjukan tingkat signifikansi t untuk uji dua sisi sebesar 0,000 maka tingkat signifikansi t untuk uji satu sisi menjadi 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 sehingga H4 diterima. Hal ini berarti bahwa kecerdasan spiritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap opini auditor.
Berdasarkan hasil Berdasarkan hasil uji F, nilai Fhitung lebih besar dari nilai Ftabel atau 138,709 > 2,53 dan nilai sig. lebih kecil dari nilai probabilitas 0,05 atau 0,000 < 0,05, maka H05 ditolak atau Ha5 diterima. Ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan secara simultan etika profesi, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual terhadap opini auditor.

Pengaruh Etika Profesi terhadap Opini Auditor
Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 1 terlihat bahwa nilai β1 = 0,070 dengan tingkat signifikansi uji t uji satu sisi sebesar 0,017 yang menunjukkan angka lebih kecil daripada taraf nyata dalam penelitian ini yaitu 0,05. Hal tersebut menunjukkan variabel etika profesi berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap opini auditor. Dengan demikian hipotesis pertama (H1) dapat diterima yaitu etika profesi berpengaruh positif dan signifikan terhadap opini auditor.

Pengaruh Kecerdasan Intelektual terhadap Opini Auditor
Berdasarkan hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 1 di atas terlihat bahwa nilai β2 = 0,230 dengan tingkat signifikansi t uji satu sisi sebesar 0,012 yang menunjukkan angka lebih kecil daripada taraf nyata dalam penelitian ini yaitu 0,05. Hal tersebut menunjukkan variabel kecerdasan intelektual berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap opini auditor. Dengan demikian hipotesis kedua (H2) dapat diterima yaitu kecerdasan intelektual berpengaruh positif dan signifikan terhadap opini auditor.

Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Opini Auditor
Berdasarkan hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 1 di atas terlihat bahwa nilai β3 = 0,117 dengan tingkat signifikansi t uji satu sisi sebesar 0,0085 yang menunjukkan angka lebih kecil daripada taraf nyata dalam penelitian ini yaitu 0,05. Hal tersebut menunjukkan variabel kecerdasan emosional berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap pertimbangan pemberian opini auditor. Dengan demikian hipotesis kedua (H3) dapat diterima yaitu kecerdasan emosional berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertimbangan pemberian opini auditor.

Pengaruh Kecerdasan Spiritual terhadap Opini Auditor
Berdasarkan hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 1 di atas terlihat bahwa nilai β4= 1,146 dengan tingkat signifikansi t uji satu sisi sebesar 0,000 yang menunjukkan angka lebih kecil daripada taraf nyata dalam penelitian ini yaitu 0,05. Hal tersebut menunjukkan variabel kecerdasan spiritual berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap opini auditor. Dengan demikian hipotesis kedua (H4) dapat diterima yaitu kecerdasan spiritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap opini auditor.


Pengaruh Secara Simultan Etika Profesi, Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional, dan Kecerdasan Spiritual terhadap Opini Auditor
Hipotesis kelima menyatakan bahwa etika profesi, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual secara simultan berpengaruh signifikan terhadap opini auditor. Hasil pengujian statistik menunjukkan nilai signifikan pada tingkat signifikansi 0,05 dengan p value 0,000 atau 0,000 < 0,05. Hasil ini didukung oleh hasil perhitungan nilai f hitung 138,709 > f tabel 2,53. Hal ini menunjukkan bahwa etika profesi, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual secara simultan terhadap opini auditor.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analsis data dan pembahasan di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1.    Etika profesi berpengaruh positif dan signifikan terhadap opini auditor pada kantor akuntan publik di Bali. Setiap akuntan publik juga diharapkan memegang teguh etika profesi yang sudah ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia, agar situasi persaingan tidak sehat dapat dihindarkan. Dengan menjunjung tinggi etika profesi diharapkan tidak terjadi kecurangan diantara para akuntan publik, sehingga dapat memberikan opini auditor yang benar-benar sesuai dengan laporan keuangan yang disajikan oleh kliennya.
2.    Kecerdasan intelektual berpengaruh positif dan signifikan terhadap opini auditor pada kantor akuntan publik di Bali. Kecerdasan intelektual dapat ditunjukkan melalui pengetahuan akuntansi dan disiplin ilmu terkait yang dimiliki auditor. Semakin tinggi kecerdasan intelektual auditor, semakin mampu auditor melakukan pemeriksaan/audit dengan baik melalui pengetahuannya baik di bidang akuntansi maupun auditing untuk mendeteksi kesesuain antara laporan keuangan klien dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum yang akan memengaruhi opini auditor.
3.    Kecerdasan emosional berpengaruh positif dan signifikan terhadap opini auditor pada kantor akuntan publik di Bali. Kecerdasan emosional ditunjukkan melalui kemampuan auditor dalam mengelola emosinya agar tidak lepas kendali sehingga dapat memaksimalkan kemampuan kognitif yang dimilikinya, mengatur emosi dalam menghadapi tuntutan klien, bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik dalam tim sehingga dapat melakukan pemeriksaan/audit dengan baik yang akan memengaruhi opini auditor.
4.    Kecerdasan spiritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap opini auditor pada kantor akuntan publik di Bali. Kecerdasan spiritual ini ditunjukkan melalui sikap moral. Semakin tinggi kecerdasan spiritualnya semakin membentengi diri auditor untuk berperilaku etis sesuai dengan norma-norma profesi dan norma-norma moral. Selain itu semakin tinggi kecerdasan spiritual seorang auditor semakin mampu ia bertahan dalam menghadapi kesulitan selama melakukan tugasnya sehingga akan memengaruhi kesimpulan pemeriksaan yang dituangkan dalam bentuk opini auditor.
5.    Etika profesi, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual secara simultan berpengaruh signifikan terhadap opini auditor.

Teori
Menurut Goleman (dalam Uno, 2010: 69), makin kompleks pekerjaan, makin penting kecerdasan emosi. Emosi yang lepas kendali dapat membuat orang pandai menjadi bodoh. Tanpa kecerdasan emosi, seseorang tidak akan mampu menggunakan kemampuan kognitif mereka sesuai dengan potensi yang maksimum. Widagdo (2001) dalam Kusuma (2011) menyatakan seseorang dengan kecerdasan emosional yang berkembang dengan baik, kemungkinan besar akan berhasil dalam kehidupannya karena mampu menguasai kebiasaan berfikir yang mendorong produktivitas. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2012), yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional akan mempermudah seorang auditor untuk melakukan pemeriksaan, memiliki motivasi yang kuat, mengontrol diri/emosi, rasa empati serta keterampilan dalam bersosialisasi akan membantu auditor dalam menelusuri bukti-bukti audit serta informasi terkait
Secara singkat kecerdasan spiritual mampu mengintegrasikan dua kemampuan lain yang sebelumnya telah disebutkan yaitu kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional (Idrus 2002 dalam Choiriah 2013).
Teknik penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling, yaitu metode penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu, dimana anggota sampel akan dipilih sedemikian rupa sehingga sampel yang dibentuk tersebut dapat mewakili sifat-sifat populasi (Sugiyono, 2009: 122).
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner yang diadopsi dari penelitian Kusuma (2012) dengan modifikasi dan penelitian Pande (2012) dan Rubiyanto (2010) dalam Swari (2013) dengan modifikasi yang terdiri dari enam bagian yaitu: bagian pertama berisikan sejumlah pertanyaan tentang data diri responden, bagian kedua berisikan sejumlah pernyataan yang berhubungan dengan etika profesi terdiri dari 14 item pernyataan, bagian ketiga berisikan sejumlah pernyataan yang berhubungan dengan kecerdasan intelektual terdiri dari 7 item pernyataan, bagian keempat berisikan sejumlah pernyataan yang berhubungan dengan kecerdasan emosional terdiri dari 11 item pernyataan, bagian kelima berisikan sejumlah pernyataan yang berhubungan dengan kecerdasan spiritual yang terdiri dari 6 item pernyataan, dan bagian keenam berisikan sejumlah pernyataan yang berhubungan dengan opini auditor terdiri dari 8 item pernyataan.
Uji validitas menunjukkan sejauh mana alat ukur tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur. Pengujian validitas dapat dilakukan dengan menghitung korelasi antara skor masing-masing butir pernyataan dengan total skor sehingga didapat nilai pearson correlation. Suatu instrumen dikatakan valid apabila nilai r pearson correlation terhadap skor total lebih besar dari r kritis (0,30). Hasil uji validitas ini menunjukkan bahwa seluruh item pertanyaan dalam kuesioner memiliki nilai r pearson correlation terhadap skor total lebih besar dari r kritis (0,30) artinya seluruh item dinyatakan valid. Uji reliabilitas dilakukan terhadap instrumen dengan menggunakan uji statistik cronbach’c alpha, apabila lebih besar dari 0,60 maka instrumen yang digunakan reliabel (Ghozali, 2006:42).
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Kusuma (2012) dimana hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa etika profesi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik dalam memberikan sebuah opini.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Rubiyanto (2010) yang menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual berpengaruh terhadap profesi seorang auditor karena dalam melakukan pemeriksaan auditor harus memiliki kecakapan dan keahlian profesional yang memadai. Kecakapan profesional auditor dapat diukur dengan kecerdasan intelektual auditor itu sendiri. Selain itu hasil penelitian ini didukung oleh Agoes dan Ardana (2009:163) yang menyatakan bahwa untuk profesi akuntan salah satunya mencakup aspek kognitif yaitu pengetahuan akuntansi dan disiplin ilmu terkait (knowledge).
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Kusuma (2011) yang menggunakan variabel kecerdasan


emosional terhadap pengambilan keputusan auditor yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional yang diukur melalui pengendalian diri, motivasi dan keterampilan sosial berpengaruh positif dan signifikan terhadap auditor dalam pengambilan keputusan.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Wijayanti (2012) yang menyatakan bahwa seorang auditor selain dituntut untuk menggunakan independensinya, di dalam bekerja juga dituntut untuk menggunakan kecerdasan spiritualnya. Hasil penelitian pada kantor akuntan publik di Bali ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kecerdasan spiritual seorang auditor akan semakin memengaruhi pertimbangan pemberian opini auditor itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nggermanto (2002:123) (dalam Trihandini, 2005), seorang yang mempunyai kecerdasan spiritual yang tinggi merupakan orang yang mempunyai prinsip dan visi yang kuat, mampu mengelola dan bertahan dalam menghadapi kesulitan. Demikian halnya pada seorang auditor, untuk dapat sampai pada pernyataan pendapat atau opini audit tentunya terlebih dahulu harus mengumpulkan bukti-bukti terkait laporan keuangan yang disajikan klien. Untuk mendapatkan bukti tersebut salah satu cara yang dapat dilakukan adalah memperoleh informasi terkait dari pihak lain seperti manajemen, karyawan, dan pihak luar yang terkait secara lisan, serta keterangan tertulis berupa dokumen (Halim 2008:45).

DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Sukrisno dan Ardana, I Cenik. 2009. Etika Bisnis dan Profesi : Tantangan Membangun Manusia Seutuhnya. Jakarta: Salemba Empat.
Choiriah, Anis. 2013. Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Spiritual, dan Etika Profesi Terhadap Kinerja Auditor dalam Kantor Akuntan Publik (Studi Empiris pada Auditor dalam Kantor Akuntan Publik di Kota Padang dan Pekanbaru), Skripsi. Universitas Negeri Padang, Padang.
Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate dengan program SPSS. Cetakan IV. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Halim, Abdul. 2008. Auditing (Dasar-dasar Audit LaporanKeuangan) Jilid 1. Edisi keempat. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Kusuma, Hendra Sandika. 2011. Pengaruh Pelaksanaan Etika Profesi dan Kecerdasan Emosional Terhadap Pengambilan Keputusan Bagi Auditor (Studi Empiris pada Kantor Akuntan Publik dan Badan Pemeriksa Keuangan di Semarang), Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang.
Kusuma, Novanda Friska. 2012. Pengaruh Profesionalisme Auditor, Etika Profesi dan Pengalaman Auditor terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas, Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.
Rubiyanto, Eko.2010. Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional, Dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Etika Profesi Auditor. Skripsi Sarjana pada Jurusan Akuntansi pada Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta
Swari, Candra Mitha Swari. 2013. Pengaruh Independensi, Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional, dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Pertimbangan Pemberian Opini Auditor. Skripsi Sarjana pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.
Trihandini, R.A Fabiola Meirnayati. 2005. Analisis Pengaruh Kecerdasan Intlektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual terhadap Kinerja Karyawan. Tesis Program Studi Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas Diponogoro Semarang
Uno, Hamzah B. 2010. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Wijayanti, Gersontan Lewi. 2012. Peran Kecerdasan Emosional Dan Kecerdasan Spiritual Dalam Meningkatkan Kinerja Auditor. Dalam Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi Vol 1, No.2

Senin, 12 Oktober 2015

Tugas # Etika Profesi Akuntansi


Judul               : Tugas 1 ETIKA SEBAGAI TINJAUAN 
                                   Tugas 2 PERILAKU ETIKA DALAM BISNIS
Oleh                : Annisa Hani Utami
Dosen              : Ibu Early
Mata Kuliah    : Etika Profesi Akuntansi
Kelas               : 4EB22


Tugas 1 ETIKA SEBAGAI TINJAUAN
Pengertian Etika
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain.
Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agara mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita.
Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini :
Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari seg baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.
 Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang pelru kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.
Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya prilaku manusia :
1. ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.
2. ETIKA NORMATIF, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.

Etika secara umum dapat dibagi menjadi :
a. ETIKA UMUM, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.

b. ETIKA KHUSUS, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud : Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis : cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tidanakn, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.
ETIKA KHUSUS dibagi lagi menjadi dua bagian :
a. Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
b. Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.
Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan.
Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik secara langsung maupun secara kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadpa pandanganpandangan  dunia dan idiologi-idiologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan hidup.
Dengan demikian luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika sosial ini terbagi atau terpecah menjadi banyak bagian atau bidang. Dan pembahasan bidang yang paling aktual saat ini adalah sebagai berikut :
1. Sikap terhadap sesama
2. Etika keluarga
3. Etika profesi
4. Etika politik
5. Etika lingkungan
6. Etika idiologi

Prinsip Etika
Menurut Keraf (1998) menjelaskan bahwa prinsip etika bisnis adalah sebagai berikut:
Prinsip Otonomi
Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.
Prinsip Kejujuran
Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
Prinsip Keadilan                             
Menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggungjawabkan.
Prinsip Saling Menguntungkan
Menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.
Prinsip integritas moral
Terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan / orang-orangnya maupun perusahaannya.

Basis Teori Etika
1.      UTILITARIANISME
Teori utilitarianisme mengatakan bahwa suatu kegiatan bisnis adalah baik dilakukan jika bisa memberikan manfaat kepada sebagian besar konsumen atau masyarakat. Teori utilitarianisme sebagai teori etika kegunaan suatu tindakan ekonomis, sesuai sekali dengan prinsip prinsip ekonomis. Teori ini cukup jelas dengan dijelaskan melalui teori cost benefit analysis yang dipakai dalam konteks ekonomi. Manfaat utilitarianisme mampu menghitung keuntungan dan kerugian atau kredit dan debet dalam bisnis. Banyak penganut utilitarianisme mengusahakan melaksanakan perhitungan etis ekonomis tersebut.

2.      DEONTOLOGI
Deontologi‟ berasal dari kata Yunani “deon”, berarti kewajiban. Suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan kewajiban bertindak baik kepada orang lain sebagaimana keinginan diri sendiri selalu berlaku baik baik pada diri sendiri.
Deontologi merupakan teori etika yang menyatakan bahwa yang menjadi dasar bagi baik buruknya suatu perbuatan adalah kewajiban seseorang untuk berbuat baik kepada sesama manusia. Merupakan teori etika yang memberi jawaban atas pertanyaan “mengapa suatu perbuatan adalah baik dan perbuatan itu harus ditolak sebagai buruk”, deontologi menjawab: “karena perbuatan pertama menjadi kewajiban seseorang untuk berbuat baik pada orang lain dan karena perbuatan kedua dilarang untuk dilakukan”.

3.      TEORI HAK
Setiap insan ekonomis memiliki hak, sejalan dengan itu ia juga memiliki kewajiban secara ekonomis. Secara moral evaluasi terhadap berbagai peristiwa ekonomis didasari oleh teori hak. Teori hak ini merupakan pendekatan relatif banyak dipakai mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku seseorang atau sekelompok orang. Teori hak merupakan aspek dari teori deontologi, karena hak berhubungan dengan kewajiban. Bahkan hak dan kewajiban seperti dua sisi mata uang logam yang saling melengkapi. Seseorang biasanya memiliki hak sekaligus kewajiban untuk berlaku sesuatu kepada orang lain.

4.      TEORI KEUTAMAAN
Keutamaan didefinisikan sebagai penggambaran watak menganai perilaku seseorang dan memungkinkan nya bertingkah laku baik secara moral. Kebijaksanaan, merupakan suatu keutamaan seseorang sehingga bermodal hal tersebut seseorang mampu mengambil keputusan tepat dalam berbagai kondisi. Keadilan merupakan perwujudan nilai keutamaan lainnya mendorong seseorang mampu memberikan kepada sesama segala sesuatu yang menjadi haknya. Kerendahan hati adalah keutamaan dimana seseorang tidak ingin menonjolkan diri, sekalipun situasi mengizinkan. Suka bekerja keras juga nilai keutamaan yang menjamin seseorang untuk menghindari tindakan bermalas-malasan. Prestasi bisnis yang baik adalah prestasi bisnis didasari oleh nilai nilai keutamaan. Hidup yang baik adalah virtuous life: hidup keutamaan, Life is precious, hidup adalah utama dan sangat berharga maka gunakanlah setiap menit yang ada untuk berbuat sesuatu kebaikan kepada umat manusia.

5.      RELATIVISME
Bila selalu dalam kondisi perilaku normal, maka pada dasarnya setiap orang cenderung bersedia berperilaku utama atau baik. Mereka yakin bahwa adat-istiadat, agama atau kepercayaan yang dianutnya dari daerah di mana ia dibesarkan diyakini merupakan adat istiadat terbaik di banding lain-lainnya. Dengan keadaan ini, maka setiap orang berkondisi kejiwaan normal tidak dapat membantah peristiwa serupa. Banyak fakta menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan perilaku atau pendapat umum dan menjadi adat istiadat turun temurun suatu daerah.

Egoism
Aliran ini mempercayai bahwa didalam menentukan aspek moral sesuatu perbuatan. Kita sepatutnya mempertimbangkan kesan ke atas diri sendirisemata-mata. Ia berkenaan dengan konsep nijaksana didalam menentukan kepentingan diri atau pihak tertentu untuk masa jangka panjang (long-term rationality). Sekiranya sesuatu perbuatan itu tidak memberikan kebaikan dalam masa jangka panjang kepada pelakunya, ia dikatakan tindakan yang bodoh dan tidak bijaksana.
Egoism memberikan justifikasi di dalam mengusahakan perbuatan demi kebaikan diri sendiri untuk masa jangka panjang. Egoism adalah fahaman yang dipegang oleh Epicurus(341-270SM). Ia menyatakan bahwa semua individu harus bekerja untuk mendapatkan kemewahan dan kebaikan untuk diri sendiri. Menurut Manuel Velaquez (1995:440) erdapat perbedaan diantara egoism seseorang yang tidak mau mengetahui kesalahan yang mereka lakukan dengan sikap hendak memajukan diri. Sikap egoism yang digunakan didalam persaingan untuk memajukan diri sendirimerupakan sikap yang dapat diterima. Walau bagaimanapun, egoism tidak boleh dijadikan rujukan tunggal di dalam melaksanakan sesuatu perbuatan, ia dapat mengawal sebarang bentuk perbuatan yang hanya mementingkan diri sendiri dan memberi kemudharatan kepada orang lain.

Tugas 2 PERILAKU ETIKA DALAM BISNIS
Menurut Richard De George, bahwa etika bisnis merupakan alat bagi para pelaku bisnis untuk menjalankan bisnis mereka dengan lebih bertanggungjawab secara moral. Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan menaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Pada dasarnya etika bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh karyawan termasuk manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan, dan sikap yang profesional.           

Lingkungan Bisnis yang Mempengaruhi Perilaku Etika
Setiap bisnis mempunyai tujuan yang sama, yaitu ingin terus berkembang dan menghasilkan banyak keuntungan. Namun hal tersebut harus di dukung dengan adanya kejujuran dari pelaku bisnis agar mendapat kepercayaan penuh dari konsumennya. Banyak perusahaan yang kurang sukses dalam berusaha, dikarenakan ketidakjujuran terhadap para konsumen, dan tidak menjaga atau memelihara kepercayaan yang telah diberikan oleh konsumen.
Untuk menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
a)      Pengendalian diri
Pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan curang dan menekan pihak lain serta menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang “etis”.
b)      Pengembangan tanggung jawab social
Pelaku bisnis dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks. Artinya, sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga tinggi sewaktu terjadinya axcess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda.
c)      Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah bawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
d)     Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, Kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi dan jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi” serta memberikan “komisi” kepada pihak yang terkait.
e)      Menghindari sifat 5K (katabelece, kongkalikong, koneksi, kolusi, dan komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu mengindari sikap seperti ini, maka masyarakat yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk apapun yang dapat membuat pencitraan bisnis buruk.
Dalam hal tersebut peran manajer sangatlah penting untuk mengambil keputusan-keputusan bisnis secara etis. Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui larangan beredar, larangan beroperasi, sampai dengan gerakan pemboikotan. Hal ini akan menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan.
Oleh karena itu, istilah etika bisnis mengandung pengertian bahwa etika bisnis merupakan sebuah rentang aplikasi etika yang khusus mempelajari tindakan yang diambil oleh bisnis dan pelaku bisnis.

Kesaling-tergantungan antara Bisnis dan Masyarakat
Kesalingtergantungan bekerja didasarkan pada relasi kesetaraan, egalitarianisme. Manusia bekerjasama, bergotong-royong dengan sesamanya memegang prinsip kesetaraan. Tidak akan tercipta sebuah gotong-royong jika manusia terlalu percaya kepada keunggulan diri dibanding yang lain, entah itu keunggulan ras, agama, suku, ekonomi, dsb. Dalam masyarakat yang semakin maju, organisasi harus dikelola secara efektif dan efisien. Pada dasarnya, organisasi yang mengelola interaksi masyarakat dibagi menjadi organisasi profit dan non-profit. Organisasi non-profit lebih berorientasi pada tujuan nilai sosial dengan lebih menekankan kegiatan pelayanan pada kelompok masyarakat. Sedangkan organisasi profit lebih menekankan pada tujuan mendapatkan keuntungan.
Bisnis merupakan aktivitas yang meliputi pertukaran barang, jasa, ataupun uang yang dilakukan oleh 2 pihak atau lebih dengan maksud untuk memperoleh manfaat atau keuntungan. Dengan dimikan, dalam kegiatan bisnis tercipta suatu hubungan yang saling ketergantungan. Dalam perkembangan selanjutnya, bisnis tidak hanya menjaga tingkat keuntungan tertentu, melainkan juga berkepentingan untuk menjaga kelangsungan hidup sumber daya alam dan lingkungan sosial.
Lingkungan bisnis memiliki ketergantungan yang kuat dengan fenomena kehidupan ekonomi anggota masyarakat yang lainnya, karena itulah bisnis mempunyai kepentingan untuk mengelola pihak-pihak yang berasal dari latar belakang. Perusahaan tidak hanya berhubungan dengan masyarakat melalui berbagai kebijakan, pada tingkat tertentu perusahaan juga berhubungan dengan masyarakat melalui aktivitas-aktivitas yang secara tidak langsung berhubungan dengan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan dan misi.

Kepedulian Pelaku Bisnis terhadap Etika
Etika pada dasarnya adalah standar atau moral yang menyangkut benar-salah, baik-buruk. Dalam kerangka konsep etika bisnis terdapat pengertian tentang etika perusahaan, etika kerja, dan etika perorangan, yang menyangkut hubungan-hubungan sosial antara perusahaan, karyawan, dan lingkungannya. Etika perusahaan menyangkut hubungan perusahaan dan karyawan sebagai satu kesatuan dengan lingkungannya (misalnya dengan perusahaan lain atau masyarakat setempat), etika kerja terkait antara perusahaan dengan karyawannya, dan etika perorangan mengatur hubungan antar karyawan. Perilaku etis yang telah berkembang dalam perusahaan menimbulkan situasi saling percaya antara perusahaan dan stakeholders, yang memungkinkan perusahaan meningkatkan keuntungan jangka panjang. Perilaku etis akan mencegah pelanggan, pegawai dan pemasok bertindak oportunitis, serta tumbuhnya saing percaya.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin meluas di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas sampai ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur, korupsi yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya dikorupsi adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit birokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan kelompok. Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika dan nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis dan para elit politik.
Dalam kaitan dengan etika bisnis, terutama bisnis berbasis syariah, pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama ini masih cenderung pada sisi "emosional" saja dan terkadang mengkesampingkan konteks bisnis itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup luas, baik itu untuk usaha perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan, segmen pasar konvensional, meski tidak "mengenal" sistem syariah, namun potensinya cukup tinggi. Mengenai implementasi etika bisnis tersebut, Rukmana mengakui beberapa pelaku usaha memang sudah ada yang mampu menerapkan etika bisnis tersebut. Namun, karena pemahaman dari masing-masing pelaku usaha mengenai etika bisnis berbeda-beda selama ini, maka implementasinya pun berbeda pula, keberadaan etika dan moral pada diri seseorang atau sekelompok orang sangat tergantung pada kualitas sistem kemasyarakatan yang melingkupinya.
Walaupun seseorang atau sekelompok orang dapat mencoba mengendalikan kualitas etika dan moral mereka, tetapi sebagai sebuah variabel yang sangat rentan terhadap pengaruh kualitas sistem kemasyarakatan, kualitas etika dan moral seseorang atau sekelompok orang sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004) berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya tidak terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah tertib hukum pun masih belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi membedakan antara batas wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum.
Wilayah etika dan moral adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan wilayah hukum adalah wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahami masalah etika dan moral di Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia 5tidak bisa membedakan antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan moral, dengan perbuatan yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum. Sebagai misal, sama sekali tidak dapat dibenarkan bila masalah korupsi masih didekati dari sudut etika dan moral. Karena masalah korupsi sudah jelas dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah didekati secara hukum. Demikian halnya dengan masalah penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Perkembangan dalam Etika Bisnis
Menurut Bartens (2000) perkembangan etika bisnis, antara lain :
a)      Situasi Dahulu
Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.
b)      Masa Peralihan : tahun 1960-an
Ditandai dengan pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa (di ibukota Perancis), penolakan terhadap establishment (kemapanan). Hal ini memberi perhatian pada dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan menambahkan mata kuliah baru dalam kurikulum dengan nama Busniness dan Society. Topik yang paling sering dibahas adalah corporate social responsibility.
c)      Etika Bisnis Lahir di AS : tahun 1970-an
Sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi bisnis di AS.
d)     Etika Bisnis Meluas ke Eropa : tahun 1980-an
Di Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun kemudian. Terdapat forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta sekolah bisnis yang disebut European Business Ethics Network (EBEN).
e)      Etika Bisnis menjadi Fenomena Global : tahun 1990-an
Tidak terbatas lagi pada dunia Barat. Etika bisnis sudah dikembangkan di seluruh dunia. Telah didirikan International Society for Business, Economics, and Ethics (ISBEE) pada 25-28 Juli 1996 di Tokyo.

Etika Bisnis dan Akuntan
Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan Akuntan Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan masyarakat. Akuntansi sebagai profesi memilik kewajiban untuk mengabaikan kepentingan pribadi dan mengikuti etika profesi yang telah ditetapkan.
Kewajiban akuntan sebagai profesional mempunyai tiga kewajiban, yaitu kompetensi, objektif, dan mengutamakan integritas. Untuk menegakkan akuntansi sebagai sebuah profesi yang etis, dibutuhkan etika profesi dalam mengatur profesinya. Etika profesi itu sendiri, dalam kerangka etika merupakan bagian dari etika sosial. Karena, etika profesi menyangkut etika sosial, berarti profesi (dalam hal ini profesi akuntansi) dalam kegiatannya pasti berhubungan dengan orang/pihak lain (publik). Dalam menjaga hubungan baik dengan pihak lain tersebut akuntan haruslah dapat menjaga kepercayaan publik.
Dapat disimpulkan bahwa meskipun IAI telah berupaya melakukan penegakan etika profesi bagi akuntan, khususnya akuntan publik, namun demikian sikap dan perilaku tidak etis dari para akuntan publik masih tetap ada.


Daftar Pustaka

Baswir, Revrisond. 2004. Etika Bisnis. Dalam Kompas Senin, 08 Maret 2004. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Bertens, K 2000. Etika. Seri filsafat atma jaya: 15.Jakarta penerbit PT gramedia pustaka utama.
De George, Richard T, 1986. Business Ethics. New York: McMilan Publishing Company.
Gugup kismono. 2001. Pengantar Bisnis. Cetakan 1. BPFE : Yogyakarta.
Rizal Isnanto. 2009. Buku Ajar Etika Profesi Program Studi Sistem  Komputer Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Soony Keraf A. 1998. Etika Bisnis Tuntutan dan relavansinya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Velasquez, Manuel G. 1995. Business Ethics : Concepts and Cases. Singapore. Parctice Hall