Nama : Annisa Hani Utami
Kelas : 1EB24
Npm : 20212960
SISTEM
PENDIDIKAN DI INDONESIA TERHADAP TINGGINYA JUMLAH PENGANGGURAN
“Sistem pendidikan dan Pertumbuhan
Penduduk yang Menyebabkan Tingginya
Angka Pengangguran di Indonesia”
Tulisan 1
I.Abstrak
Masalah-masalah bangsa Indonesia pun
semakin kompleks ditambah tingginya jumlah pengagguran, khususnya pengangguran
terdidik yang menurut data BPS mencapai 1,1 juta orang pada tahun 2009 (www.solopos.com).
Tingginya angka pengangguran semakin menambah tingkat kemiskinan dan merosotnya
kesejahteraan masyarakat Indonesia. BPS mencatat, selama tiga tahun terakhir,
jumlah penduduk miskin terus bertambah secara konsisten. Sungguh sempurna
permasalahan sosial di negeri tercinta ini. Dan hingga kini, belum banyak
campur tangan pemerintah dalam upaya penyelesaian berbagai permasalahan
tersebut.
Apabila diruntut, sebenarnya akar dari
semua permasalahan sosial yang berada di Indonesia yang pertama adalah sistem
pendidikan yang diterapkan. Mengapa demikian?, hal ini terjadi karena pondasi
utama sebuah bangsa tergantung pada tingkat efektivitas dan efisiensi
pendidikannya. Ketika sebuah bangunan memiliki pondasi yang dirasa kurang
kokoh, maka berbagai permasalahan pun senantiasa menghampiri, dan bisa jadi
bangunan tersebut akan roboh, bahkan hancur. Begitu juga dengan sistem
pendidikan, apabila sebuah sistem yang berperan sebagi pengatur dan pengelola
pendidikan itu rapuh, maka akan berdampak buruk pada output yang dihasilkan,
yakni peserta didik. Belum adanya pondasi yang kokoh dalam ranah pendidikan,
khususnya pendidikan moral dan spiritual, menjadikan lulusan dari sistem
pendidikan di Indonesia cenderung menjadi pribadi yang hedonis, konsumeris,
tidak percaya diri, tidak mandiri dan tidak berani menanggung risiko. Sehingga
ilmu yang diterima tersebut diwujudkan untuk kegiatan-kegiatan yang memberikan
kerugian pada perkembangan moral bangsa.
Dan yang
kedua adalah Pengangguran terjadi dikarenakan banyaknya jumlah
penduduk yg berusia matang untuk bekerja tetapi lahan pekerjaan yang disediakan
masih kurang atau belum memadai.
II. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan
Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap
kualitas pendidikan di Negara-negara
berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara.
Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14
negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para
guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan
kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki
siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah
dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya
memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak
kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan
yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu
harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik
dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan
pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih
parah lagi, pendidikan tidak mampu
menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta
dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya
pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri,
padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan.
Berdasarkan analisa dari badan pendidikan
dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari
14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri
agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu.
Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42
negara berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada
diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak
serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.
Dan
karena pengangguran yang terjadi di Indonesia setiap tahun selalu bertambah.
Pengangguran di Indonesia selalu bertambah disebabkan karena lapangan pekerjaan
yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pencari kerja. Ketersediaan
lapangan kerja yang relatif terbatas, tidak mampu menyerap para pencari kerja
yang senantiasa bertambah setiap tahun seiring bertambahnya jumlah penduduk.
Buruknya sistem pendidikan di Indonesia.
III.
LANDASAN TEORI
Sebelum kita membahas mengenai permasalahan-permasalahan
pendidikan dan pertumbuhan penduduk di
Indonesia, sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikan,
pertumbuhan peduduk dan pengangguran itu sendiri terlebih dahulu. Karena
pendidikan,pertumbuhan penduduk dan pengangguran saling berhubungan satu dengan
yang lain. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan
berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan
(ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Pendidikan
merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang
erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan
ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena
merupakan subyek di dalam pendidikan, maka
dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu
sebagai subyek dan pendidikan meletakkan
hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah
otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya
yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.
Pengangguran adalah orang yang masuk dalam
angkatan kerja (15 sampai 64 tahun) yang sedang mencari pekerjaan dan belum
mendapatkannya. Orang yang tidak sedang mencari kerja contohnya seperti ibu
rumah tangga, siswa sekolan smp, sma, mahasiswa perguruan tinggi, dan lain
sebagainya yang karena sesuatu hal tidak/belum membutuhkan pekerjaan.
Pengangguran adalah orang yang masuk dalam
angkatan kerja (15 sampai 64 tahun) yang sedang mencari pekerjaan dan belum
mendapatkannya. Orang yang tidak sedang mencari kerja contohnya seperti ibu
rumah tangga, siswa sekolan smp, sma, mahasiswa perguruan tinggi, dan lain
sebagainya yang karena sesuatu hal tidak/belum membutuhkan pekerjaan.
IV. PEMABAHASAN
A.
Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara
berkembang yang memiliki kualitas daya saing sumber daya manusia yang sangat
rendah. Hal ini terbukti dari data Badan PBB yang menangani masalah pendidikan
(United Nation Development Program) bahwa pada tahun 2007, Indonesia
menduduki posisi ke 107 berdasarkan daya saing kualitas sumber daya manusianya.
Data ini dapat menjadi suatu evaluasi khusus bagi pendidikan di Indonesia agar
dapat dibenahi sebagaimana mestinya.
Melihat data di atas, dapat ditarik
sebuah pernyataan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih lemah. Lemahnya
sistem pendidikan Indonesia ditunjukkan dengan kondisi nyata pendidikan saat
ini, yakni masih diterapkannya sebuah sistem yang menghasilkan lulusan-lulusan
siap bekerja tanpa dibekali oleh softskill lain seperti kemampuan untuk
menciptakan lapangan pekerjaan serta moral kepribadian yang baik. Kurikulum
yang diterapkan pun masih berkisar pengembangan intelektual tanpa
spiritual dan moral, serta terpaku pada textbook tanpa berorientasi pada
praktek. Begitulah wajah pendidikan kita.
Sebenarnya, pendidikan merupakan sebuah
dasar yang sangat penting bagi sebuah peradaban manusia, selain itu pendidikan
memiliki peranan yang sangat besar dan sangat berpengaruh bagi kelangsungan
hidup suatu bangsa. Sebagaimana diungkapkan Tilaar dalam bukunya Pendidikan,
Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, disebutkan bahwa hakikat
pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat.
Peran strategis yang dimaksud di sini adalah peran pendidikan sebagai tonggak
keilmuan yang akan memetakan langkah suatu bangsa, atau dengan kata lain akan
dibawa kemanakah nasib suatu bangsa itu.
Kini peran sekolah di Indonesia pun
berubah menjadi “pabrik pendidikan”. Pendidikan nilai dan norma diserahkan
orang tua kepada sekolah. Padahal kita menegtahui faktanya bahwa sekolah lebih
cenderung mengajar daripada mendidik. Pendidikan di Indonesia akan membawa anak
bangsa menjadi generasi pasif ketika pendidikan tak dibarengi dengan
internalisasi nilai, moral, dan spiritual sejak dini secara aplikatif.
Kesadaran moral pun tidak akan pernah tumbuh jika aspek spiritual peserta didik
hanya berdasar kognitif belaka, bukan alih praktis.
Istilah mengajar dan mendidik memiliki
definisi yang berbeda pada konteks bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia cetakan pertama Edisi III 2001, dipaparkan bahwa mengajar adalah
memberikan pelajaran, melatih, memarahi (memukuli, menghukum, dsb) supaya jera.
Sedangkan definisi mendidik adalah memelihara dan memberi latihan (ajaran,
tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dua definisi
tersebut menunjukkan pada kita tentang perbedaan makna mengajar dan mendidik.
Para guru di Indonesia cenderung disebut pengajar, bukan pendidik. Alih fungsi
ini merupakan implementasi aspek intelektualitas yang lebih sering ditonjolkan
dalam menjalankan serangkaian kurikulum yang ditetapkan oleh Kementrian
Pendidikan Indonesia.
Tak sedikit para guru yang melalaikan
aspek spiritual dan moral ketika mendidik para peserta didiknya. Kedua aspek
ini serasa hilang tertelan makna intelektual yang sedang dituankan pada ranah
dunia keilmuan di Indonesia. UAN dan SNMPTN contohnya, keduanya dianggap sebagi
momok yang sangat mengerikan bagi para peserta didik khususnya siswa yang
menginjak tahap akhir sekolah, yakni kelas VI SD, kelas IX SMP, dan kelas XII
SMA. Apakah sistem yang seperti ini akan tetap dipertahankan di negeri kita
ini? Tak peduli moralitas, tak peduli spiritualitas, segala cara
dihalalkan yang penting lolos UAN dan SNMPTN. Seperti itukah mental peserta
didik Indonesia saat ini?
Untuk menjadi sebuah bangsa yang
bermartabat diperlukan usaha yang sangat keras dari semua elemen bangsa
Indonesia untuk memperbaiki sistem-sistem yang keberjalanannya belum mencapai
tahap optimal. Sebuah bangsa dapat dikatakan bermartabat apabila dia dapat
berdiri mandiri dan kokoh di tengah modernisasi negara-negara lain dalam segala
ranah kehidupan manusia, baik politik, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, ekonomi
dan tidak luput adalah ranah pendidikan.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa
berbagai masalah yang mendera bangsa Indonesia bersumber pada kurang mapannya
sistem pendidikan yang berjalan. Penekanan aspek kognitif tanpa didukung
kemampuan praktis menjadikan para peserta didik menjadi tak reaktif. Dan sudah
selayaknya menjadi tanggung jawab moral bagi semua elemen terkait untuk turut
mendukung tercapainya misi sejati bangsa ini. Kualitas sumber daya manusia
suatu bangsa sangatlah ditentukan oleh kualitas sistem pendidikan yang
diterapkannya. Dan semua itu bergantung pada beberapa faktor seperti kualitas
tenaga pendidik, sarana dan prasarana yang dimiliki, sistem pendidikan yang
terencana dengan baik dan tidak lupa dukungan dari pemerintah, baik pemerintah
pusat maupun daerah.
Begitulah pendidikan, sangat kompleks
dalam keberjalanannya, sehingga diperlukan keseimbangan aspek intelektual,
moral dan spiritual agar lahir para generasi muda pilihan bangsa yang
berkualitas, cerdas lahir batin, dan berbudi pekerti luhur, sehingga dapat
memegang tongkat estafet kepemimpinan Indonesia, menuju Indonesia mandiri dan
bermartabat.
Bagi orang-orang yang berkompeten
terhadap bidang pendidikan akan menyadari
bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini
masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang
“sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang
seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya
seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan
tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem
pendidikan yang ada.
Bahwa pendidikan,
khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian
karena pendidikan yang diberikan ternyata
berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan
ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir
(kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi
cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar
tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang
belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati,
membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering
disinyalir ialah pendidikan seringkali
dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan
istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan
“siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam
pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara
kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama
seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi
sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut
pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak
lembaga pendidikan.
Sistem pendidikan
yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire
(seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan
gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak
membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang
tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk
menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai
pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit
box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila
sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid
hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai
subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan
ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan
bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan
merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya
berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang
dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk
memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya.
Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena
yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia
tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah
kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung
dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam
“strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu
kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan
politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis
kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan
ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan
kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan
sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan
tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu
menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain?
Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki
Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
B. Kualitas
Pendidikan di Indonesia
Banyak faktor-faktor yang
menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor
tersebut yaitu :
1.
Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik
misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak,
kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi
tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki
gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan
sebagainya.
2.
Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di
Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut
dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan,
melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara
kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu
guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di
Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah
masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan
profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia
relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa,
angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12.
Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung
kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah
guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam
banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang,
sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari
persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan
minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan
kepada anak didik, ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar
(under quality).
Hal itu dapat
dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di
SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang
mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di
Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD,
SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar.
Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan
yang berlangsung di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan
anak dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik. “Sangat kurang tepat
bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak didik, namun mengabaikan
penanaman budi pekerti kepada para siswanya.
3. Rendahnya
Kesejahteraan Guru
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah,
terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang
mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek,
pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru
dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10
UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan
guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain
meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi,
dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak
atas rumah dinas.
4. Rendahnya Prestasi
Siswa
Dengan keadaan yang
demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru)
pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian
prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat
rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004),
siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi
matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam
hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai
negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi,
15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga
telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di
seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004.
Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177
negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia
berada jauh di bawahnya.
Anak-anak Indonesia
ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit
sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini
mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan
ganda.
Selain itu, hasil
studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999
(IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa
SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk
Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi
menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik
ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat
ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya
Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh
pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah
Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan
Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan
Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4%
(28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka
Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih
rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan
sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat
untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6.
Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat
dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang
dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang
dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT
sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja
cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan
yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap
tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan
hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya
ketidakserasian antara hasil pendidikan dan
kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional
terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia
kerja.
7. Mahalnya Biaya
Pendidikan
Pendidikan
bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan
dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat
miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak
boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan
SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada
yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai
Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan
pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia
pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana.
Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan
yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha
memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah
terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite
Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang
dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat
dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator
kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan
tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan
lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan
(RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari
milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan
politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat
melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan
warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi
Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan
MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan
yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau
semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari
tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar
negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan
faktor pendorong privatisasi pendidikan.
Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan
terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya
5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan.
Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam
APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU
Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan
Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53
(1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh
Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Bagi masyarakat
tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan
bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di
Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak
perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa
negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau
gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah
sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk
mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi,
kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal
keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci
tangan.
Dan
satu lagi masalah penyebab tingginya angka pengangguran di Indonesia adalah Pertumbuhan
penduduk adalah peningkatan atau penurunan jumlah penduduk suatu daerah dari
waktu ke waktu. Salah satu penyebab terjadinya peningkatan penduduk adalah
tidak terealisasinya program Keluarga Berencana ( KB ) dan tidak meratanya
perekonomian didaerah-daerah tertentu yang menyebabkan perpindahan penduduk
dari desa ke kota-kota besar, maka terjadi peningkatan penduduk dikota-kota
besar.
Dampak
lainnya adalah persaingan mencari kerja semakin berat karna lebih besar minat
orang bekerja dibandingkan penyediaan lapangan kerja,itu terjadi karna tidak
meratanya pembangunan atau penyediaan lapangan kerja jadi semakin besar minat
orang pergi kekota-kota besar untuk sekedar mendapatkan pekerjaan.
Pengangguran
meningkat karna setiap tahunnya beribu-ribu orang lulus sekolah dan lapangan
kerjanya terbatas yang tidak dapat menampung ribuan orang yg setiap tahunnya
bertambah,maka terjadinya pesaingan yang berat untuk mendapatkan pekerjaan.
Pertumbuhan
penduduk merupakan salah satu faktor yang penting dalam masalah sosial ekonomi
umumnya dan masalah penduduk pada khususnya. Karena di samping berpengaruh
terhadap jumlah dan komposisi penduduk juga akan berpengaruh terhadap kondisi
sosial ekonomi suatu daerah atau negara maupun dunia.
V. PENUTUP
A. Simpulan
Pengangguran adalah
problem yang terus menumpuk. Bertambah dari tahun ke tahun. Persoalan
pengangguran bukan sekedar bertumpu pada makin menyempitnya dunia kerja, tetapi
juga rendahnya kualitas SDM (sumber daya manusia) yang kita punyai.
Beberapa masalah lain
yang juga berpengaruh terhadap ketenagakerjaan adalah masih rendahnya arus
masuk modal asing, perilaku proteksionis sejumlah negara-negara maju dalam
menerima ekspor komoditi, Beberapa masalah lain yang juga berpengaruh terhadap
ketenagakerjaan adalah masih rendahnya arus masuk modal asing (investasi),
stabilitas keamanan, perilaku proteksionis (travel warning) sejumlah
Negara-negara barat terhadap Indonesia, perubahan iklim yang menyebabkan
pemanasan global yang menjadikan krisis pangan didunia, harga minyak dunia
naik, pasar global dan berbagai perilaku birokrasi yang kurang kondusif atau
cenderung mempersulit bagi pengembangan usaha, serta tekanan kenaikan upah buruh
ditengah dunia usaha yang masih lesu. Disamping masalah-masalah tersebut
diatas, faktor-faktor seperti kemiskinan, pendidikan, ketidakmerataan
pendapatan karyawan,pertumbuhan peduduk, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik
juga sangat berpengaruh terhadap ketenagakerjaan di Indonesia.
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar